Lazimnya, anak-anak bersifat posesif. Tapi, bukan berarti karakternya tidak bisa dibentuk agar menjadi orang yang peduli.
”Bu, aku ingin berkorban seperti Extra Joss,” kata si bocah, lantas berlari hendak menyerahkan daging kambing yang diperolehnya kepada yang lebih membutuhkan.
Benar, adegan indah itu hanya iklan. Seindah budi pekerti Lala dalam sinetron Bidadari, yang pemerannya yakni Marshanda kini mulai main drama cinta-cintaan anak SMP. Tapi, bukan berarti keluhuran berkorban seperti itu tidak ada sama sekali dalam kenyataan sehari-hari.
Faktor Eksternal
Hasil penelitian para psikolog perkembangan seperti Jean Piaget, Erik Erikson, Jerome Bruner, dan lain-lain, membenarkan, anak-anak mengalami internalisasi nilai-nilai dengan pertama-tama mengalami struktur eksternal. Ringkasnya, bocah cilik lebih mudah meniru. Sehingga kalau Anda ingin agar dia berbuat baik, maka berilah contoh. Teladan. Bukan cuma teori.
Dalam iklan tadi misalnya, keinginan berkorban menggelegak dalam jiwa si anak setelah menyaksikan imbauan yang menggugah di layer teve, diikuti teladan berkorban (Rp 2 Milyar). Jadi, klop antara teori dan praktik.
Yang tidak dijelaskan dalam iklan tadi adalah, proses panjang yang membuat seorang anak memiliki empati sosial sedemikian tinggi. Proses ini terutama sekali tergantung pada pendidikan yang diperolehnya dari orangtua si anak.
Anak yang dilahirkan dalam keluarga miskin, seperti yang tampak dari tayangan iklan berkorban Extra Joss, memang lebih mudah berempati pada penderitaan orang lain. Sama halnya orangtua yang melarat, tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejak kemelaratannya. ”Jika kita sendiri mengalami masa-masa sulit, kita ingin memastikan anak-anak kita tidak mengalaminya pula,” tutur John dan Linda Friel dalam The 7 Worst Things Good Parents Do.
Tapi, pengalaman pribadi itu hanya salah satu faktor penumbuh empati anak. Bocah-bocah dari keluarga dengan strata sosial-ekonomi lebih tinggi pun, memiliki kesempatan untuk menjadi anak yang peduli sesama. Meskipun memang lebih berat mendidiknya, karena Anda harus bersaing keras misalnya dengan televisi.
Kartun Anti-sosial
Semua orang tahu, nyaris tidak ada tayangan teve yang tidak mengajarkan sikap anti-sosial. Menertawakan orang gendut atau cacat, meledek penderitaan orang, obral umpatan, dan sebagainya.
Menurut penelitian Sri Andayani (1997) terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth, muatan cerita kepahlawanan dalam film-film ini justru lebih banyak mengandung adegan anti-sosial (58,4%) daripada adegan pro-sosial (41,6%). Studi ini menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan (28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).
Temuan tersebut sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan anti-sosial (63,51%) dari pada adegan pro-sosial (36,49%).
Dongeng
Tolong dicatat, dongeng dan puisi adalah salah satu sarana baik dalam mengasah pertumbuhan kecerdasan emosi atau empati anak. ”Saya sering mendongeng dan membaca puisi di depan anak-anak. Dengan cara itu, saya ingin melatih kepekaan mereka,” ungkap Ratih Sanggarwati sebuah seminar pendidikan anak di YPM Salman ITB.
Dongeng terbaik bagi perkembangan empati anak-anak, menurut Ratih Sang, adalah kisah-kisah kehidupan Rasulullaah saw dan para sahabatnya. Misalnya, perilaku Rasulullaah saw. yang rendah hati, pemaaf, sopan santun, adil, pemurah, bijaksana, penyabar, penolong, dan sifat-sifat baik lainnya, itu layak didongengkan kepada anak agar dicontoh. Dengan begitu, informasi perilaku positif itu akan tertanam pada benak anak sehingga pada gilirannya kelak membentuk karakter.
”Tentunya dalam tataran ini, orangtua harus pula memberi keteladanan. Jangan sampai kita mendongeng perlunya bersikap jujur, tetapi orang tua mengajarkan ketidakjujuran,” tandas Ratih.
Ya, sejak kecil bangsa ini sudah menelan ajaran rela berkorban melalui penataran P-4 dan Pramuka. Tapi karena miskin teladan, Harry Roesli pun bersenandung: ”Garuda Pancasila, aku lelah mendukungmu. Sejak proklamasi, selalu berkorban untukmu….’’
Tips Menumbuhkan Empati Anak
- Perhatikan dan Ekspresikan Perasaan Anak Lain. Ajak anak-anak jalan-jalan ke alam nyata seperti pasar, sawah, dan pinggiran kota. Tunjukkan perjuangan bocah-bocah yang harus berkelahi dengan waktu, seperti penjaja koran, penyemir sepatu, peminta-minta. Katakan pada buah hati Anda, ”Masya Allah, lihat anak yang sedang mendorong gerobak sampah itu. Ia tentu lelah sekali. Wajahnya sampai memerah terpanggang matahari. Kalau mampu, dia pasti ingin sekolah seperti kamu.”
- Ungkapkan Perasaan Empati Anda pada Orang Lain. Kalau perlu menagislah di depan anak-anak, lalu ceritakan bahwa Anda sedang sedih karena teman Anda kehilangan salah satu anaknya. Selain untuk mengajarkan simpati, cara ini juga mengajak anak mengenali ekspresi kehidupan.
- Seandainya Aku Jadi Dia. Ini lebih dari sekadar mengungkapkan perasaan orang lain. Anda memposisikan buah hati Anda sebagai anak lain yang sedang menderita. Katakan misalnya, ”Coba lihat betapa sedihnya anak itu kehilangan mainan, seperti kamu kemarin menangis karena bonekamu terselip di lemari.”
- Praktik Ringan Tangan. Berikan receh pada anak untuk dimasukkan ke kotak amal di masjid, atau diberikan pada pengamen atau pengemis. Namun ingat, bila Anda membantu tetangga atau saudara, jangan sampai anak-anak Anda dan anak-anak dia menyaksikannya. Ini untuk mencegah anak-anak Anda meledek atau merendehkan anak-anak orang tersebut.
- Ceritakan kisah teladan. Antarkan tidur anak dengan kisah-kisah teladan Rasulullah Saw, sahabat, dan orang-orang saleh dalam berkorban dan peduli. Mudah-mudahan kisah ini membekas dalam memorinya, hingga terbawa mimpi. (www.baitijannati.wordpress.com)
Sumber : Tabloid Suara Islam, Edisi 12
No comments:
Post a Comment